Belajar Agama Hindu Murni, Cara Melihat Tuhan menurut Hindu, Surga dan Neraka menurut Hindu, Surga dan Neraka, Mencapai dan mendapatkan Tuhan, Hindu yang benar seperti apa, Bagaimana Hindu kini dan nanti ?
Banten Ngerorasin umat satu pura ibu / dadya sekar nila warsiki |
nanti ?
Disadur dari berbagai sumber.
Agama Hindu muncul pertama di Lembah sungai Gangga, di daerah Industani (Asal nama hindu). Hindu merupakan ajaran yang paling pertama Tuhan turunkan ke muka bumi. Artefak Hindu tertua ditemukan ilmuan sudah berumur 4000 sm.
Tahun 8 sm Hindu datang berkembang di Nusantara, dan menjadi begitu pesat di Indonesia pada zaman majapahit 1300 m, dan saat itu hidup harmonis dengan Budha yang datang belakangan kemudian. Terbukti dengan adanya “Bhineka Tunggal Ika”.
Hindu di Indonesia kini banyak penganutnya di pulau Bali, yang mengungsi dari Jawa karena semakin kecil dan runtuhnya supremasi mega bintang kerajaan yang mulia Majapahit.
Hindu datang ke Bali dan tumbuh disana. Sayangnya Pribumi Bali, yaitu orang Tenganan, Trunyan kini tersudut meminggirkan diri hidup di danau Batur.
Dengan latar belakang Hindu yang telah tumbuh dan berkembang begitu lama, Hindu yang murni dan sejati kini terkikis maupun tertambah dengan akulturasi budaya, adat, kebisaan, awig-awig, tata-toto dan kearifan lokal yang mengiri tumbuhnya Hindu di setiap daerah.
Kini kehidupan beragama Hindu seperti berkembang sendiri-sendiri di setiap daerah, tanpa kiblat dan batu penjuru yang jelas. Setiap daerah sepertinya mempunyai aturannya sendiri yang bertameng alasan atas desa kala patra.
Di Bali sendiri , jangankan antar kabupaten, antar desa dan kampung saja memiliki aturan yang berbeda-beda. Sungguh sangat disayangkan, pesan dari Weda yg begitu murni, tulus, suci, dan penuh dengan essensi kehidupan yang sejati, harus tenggelam dikarenakan riuh tingginya peraturan dan tata cara ritual yang rumit, berkilit, memboroskan energi dan materi. Weda ‘kehilangan’ auranya karena ditutupi oleh semua ketidaktahuan dan tidak adanya keinginan untuk tahu dari para penganutnya. Hal ini jika terus-menerus berkelanjutan, maka umat tidak akan pernah tahu apa yang se sungguhnya dia sembah, dan mengapa menyembahnya. Seakan-akan umat hanya menyembah batu yang berukir,dan jika ditanya oleh Sahabat Lain, maka umat tidak tahu mau menjawab apa. Berhalakah Hindu dengan menyembah para Dewa di batu-batu?, Siapakah para Dewa?, mengapa tak menyembah Hyang Widi saja? mengapa umat Hindu harus reinkarnasi terus, sampai kapan reinkarnasi?, bagaimana caranya agar tidak reinkarnasi lagi? mengapa mati harus dibakar? Setalah mati rohnya pergi kemana? Apakah dengan mati dibakar melalui upacara-upacara yang sangat kompleks, rumit, megah meriah, rohnya dengan mudah lalunya mencapai surga? Jika tidak diritualkan, lalu apakah Tuhan tidak menerimanya?
Mengapa biaya dari seluruh upacara yang mewah itu tidak dikumpulkan untuk membangun sekolah saja? Atau dibagikan kepada orang miskin? membangun sumur air di desa tertinggal?
Disinilah kemudian umat dengan kebodohan dan kesombongannya lalu menjawab “nak mule keto” memang begitu dari dulu.
Sungguh ironis dan naif. Entah kemana PHDI sebagai puncak pengayom umat seperti tak bereaksi apa-apa. Tidak peka akan kehancuran laten dikemudian hari, yang tak terlihat bagai siluman maut. Berbeda dengan majelis organisasi-organisasi agama lain, yang begitu tegas memberikan pakem-pakem, menuntun umat ke jalan yang benar, menghalal-haramkan suatu hal, memberikan pencerahan pembangunan rohani umat dan memposisikan eksistensi keberadaanya.
Entah apa yang dilakukan para Mangku, Pinandita, Pedanda,tidak men-danda-ni umat dengan kemurnian Weda bagi kehidupan, kedamaian dan kesentosaan hidup tiap manusia Hindu yang bernafas. Setelah dengan sombongnya medentingkan genta di altar yang lebih tinggi dari umat, selesai ritual selesai, kemudian ngacir aja pergi, paling ya lambai-lambai tangan sedikit. Pelit benar mengajar esensi Weda kepada para umat. Emangnya, hanya mereka saja yang bisa ‘berkomunikasi’ dengan para Dewa, hanya meraka saja yang berhak dan tahu akan ajaran hidup yg begitu luhur adi luhung adi gang adi gung adi guna dari Weda. Atau mungkin malah mereka tak tahu sama sekali isi esensi kemurnian Weda yang luhur dan adiluhung itu? Sangat amat konyol kiranya.
Para Pejabat, Petinggi, cerdik dan cendikia yang berkepentingan akan hal ini, sungguh kiranya memiliki hati untuk concern akan hal ini. Jangan terkesan tutup mata tutup telinga, cuci tangan sembunyi tangan. Janganlah pula hanya gugun tuun akan hal ini, pikirkanlah, bagaimana caranya agar jiwa para umat selamat, tidak direkrut oleh roh-roh dan malaikat iblis yang jahat, hedonisme moderenisasi, degradasi moral korupsif dan korosif. Rekonstruksi ulang silabus pelajaran agama Hindu yang lebih menekankan pada bekal ilmu rohani mengahadapi hidup dan kehidupan siswa. Buatlah Sentral Pakem ritual yang jelas yang membangun kerohanian umat. Berusahalah membangunlah pusat pencerahan umat Hindu di setiap kabupaten yang ada di Indonesia. Buatlah Pesraman yg memberikan pencerahan dan ilmu yang bermanfaat bagi umat, bukan hanya melulu menekankan pada ritual yang tak tahu juntrungan pembangunan karakter rohaninya. Mestinya ada keseimbangan upacara dan tatwa susila. Ada Dharma Wacana di setiap kegiatan persembahyangan atau upacara,baik itu yang kecil maupun yang besar. Jangan melulu-lulu bergulat dan berkutat, muter-muter gak jelas ke situ-situ lagi di sajen, banten, dan pernak-pernik upakara saja. Mana esensi tatwa dan pengetahuan rohaninya?. Srada-Srada suci pengetahuan yang sebenarnya penting, major, utama dan urgent itu, kok jadi dikalahkan dan tenggelam oleh segala-gala banten, daun kelapa, don kayu, bungkak, porosan, pis bolong dan lengis miik kene lan keto, sesuatu yang sebenarnya hanya menjadi unsur makna yang kecil dan seimprit dari Weda yang maha tirta luas nan jembar itu.
Lama kelamaan mundurlah lagi kita ke zaman animisme dan dinamisme, padahal Tuhan telah datang dengan ajaran theoismenya, yang sudah jelas dan tanpa tedeng aling-aling lagi. Kok kita malah jadi manusia yang susah banget diajari, sudah macam belut masuk oli sahaja, licin setengah mati. Mungkin kita hanya umat yang gagal move-on dari ritual ritus ritus menuju ke spiritual karakter.
Bukankah Weda itu berasal dari urat kata Wid, yang artinya pengetahuan,seharusnya lebihlah menekankan dan menitikberatkan pada esensi tatwa ini,esensi pengetahuan dan ajaran rohani yang menjadi bekal umat menghadapi segala permasalahan dan beban berat kehidupan, yang terasa semakin hari semakin berat sahaja. LPG yang lebih berat aja udah semakin mahal, udah berat mahal lagi.
Walaupun ini pekerjaan berat,mungkin sangat berat dan membutuhkan waktu yang tak sebentar, lama, namun jika kalau bukan kita siapa lagi?, kalau tidak dari sekarang kapan lagi?.
If not you, then who? If not now, then when?
Jika ada kejahatan di bali,selalu muncul jargon ‘sing ade nak bali keto,nak jawa pasti to’ . Sungguh naif, kiranya orang Bali itu baik semua. Bukan rahasia umum di Bali, tidak sedikit di setiap keluarga Bali, pasti ada puik/bermusuhan,entah tidak saling tegur antar tetangga, tidak cocok sama ini,tidak cocok sama orang itulah, atau antar keluarga sendiri. Berbeda dengan spirit jawa, kehidupan begitu toleran dan setiap orang lewat, ada lips service tegur sapa ‘monggo’ nya. Di Bali, tingkah sesama manusia Bali, walau tidak semua, tidak sedikit yang sengak dan angkuh sekali. Tidak ada saling tegur sapa, tidak ada yang mau menegur duluan. Bahkan jika menatap mata orang langsung, tinggi hatinya. Jika sama orang luar terlihat ramah, namun sama sesama kok seperti api dalam sekam, menggunting dalam lipatan. Belum lagi jeratan pembeda-bedaaan kasta, nak menak lah, nak keto lah, suatu produk keegoisan manusia yang tamasik rajasik dan gelap.
Ngaben yang menghabiskan banyak sekali energi dan materi.
Apa lagi banyak yang sampai menjual tanah dan warisan sesepuh untuk ngaben atau upacara, lama-kelaman kalau begini terus, tanah Bali bisa habis dimiliki orang luar sahaja (biarin, emang gue pikirin), sebagai nyame bali, kita mesti mikir. Pakai pikiran dewasa, bukan pikiran kekanak-kanakan.
Ngaben sampai membuat tumpeng yang tinggi-tinggi, bebantenan berkol-kol, bertruk-truk, untuk apa sih itu semua itu, kesombongan? (bukan, itu ceritanya mau nyogok Tuhan, agar bisa dapat surga) yakin tuh masuk surga? beneran yakin??
Keluarga satu merasa jengah kalau bade tumpengnya kurang bagus dari yang lain, terjadilah gagah-gagahan, maknanya jadi semakin kosong dan tumpul. Sungguh mana penghapusan Sad Ripu di upacara mepandes/metatah? Jika loba, matsarya, iri hati dan dengki merajalela? Apa guna semua banten-banten itu? Dibuat berlelah-lelah beramai keluarga, berhari-hari, namun hanya dipakai dalam semenit kemudian di buang dan bikin sampah saja.
Alasan agar turis ke bali? Ritual Hanya menyedot 20 %. Turis ke Bali, sisaya kesenian dan keindahan alam.
Mengapa menjual keimanan murni Hindu hanya untuk 20 % itu?. Jika ingin ritual atau ceremonial yang hanya untuk menarik turis, Govern Legislator, buatlah karnaval seperti di Brasil saja,atau dipusatkan pada tempat-tempat, yang tujuannya memperkenalkan kepada turis, bukan malah membodohi umat untuk terjebak pada ritus-ritus itu.
Dan juga kebiasaan minum-minuman keras,arak, kadangkala diadakan pada upacara dan yadnya,bahkan di acara pernikahan desa tradisi minum-minuman keras diadakan. Generasi muda di desa sepertinya dihancurkan oleh hal ini. Entah Dimana suara dan ketegasan Pihak yang berkepentingan di sini ??? Jajaran Trias Politika Bali Eksekutif, Legislatif, Yudikatif mana kepala mu??? Janganlah hanya melulu memikirkan sudut materi dan anggaran pendapatan daerah saja. Apa bagusnya gencar pembangunan Hotel, Villa dan fasilitas wisata menjamur seperti merang di musim hujan jika esensi kehidupan hilang, degradasi moral dan tata toto titi tentrem masyarakat menjadi goyah?. Perselisihan dan bentrok warga yang dikarenakan hal sebenarnya terkesan sepele dan tidak fundamental, lahan ngaben, mesurya, bebantenan, organisasi kepemudaan, dan lainnya, sudah saatnyalah kita selalu eling lan waspodo akan semua hal ini. Mari saling asih, asuh, asah. Buka wawasan pengetahuan selebar dan seluas-luasnya.
Tradisi yang baik adi luuhung dari leluhur, kita pelihara, tradisi yang jelek, tak masuk akal, dan tiada membangun kesadaran rohani umat, janganlah kita pakai lagi. Tinggalkanlah saja itu semua. Sudah seharusnya pihak yang memiliki power untuk menetapkan regulasi, tokoh masyarakat dan pemuka rohani bahu membahu meruntuhkan proto paradoto ini, aturan dari nenek moyang yang kiranya tidak memililki manfaat dan mudharat bagi kemaslahatan pembangunan rohani umat. Jika kita mau menelaah semua tata toto banten dan upacara itu, semua hanyalah pesan-pesan bacaan ayat weda yang di transfer mewujud menjadi sesuatu bentuk wujudiah bebantenan, yang bisa dipelajari langsung oleh orang, sebab orang dulu hanya sedikit yang mengerti bisa baca dan sastra, maka dibuatlah bantenan untuk menyampaikan pesannya. Di era modern blogging kayak gini nih, semestinya kita berjalan kearah yang lebih maju, baik, mudah (bukan gagal) paham dan sentausa bagi semua, tidak ada pengecualian.
Perjudian harum semerbak di mana-mana, ceki, kartu, adu ayam, tajen jumahan, bola adil, dll. Konyolnya lagi, Bahkan upacara agama pun diadakan judi gaplek, adu ayam ataupun judi bola adil. Atau bahkan mempertontonkan tarian Joged bung-bung yang tak patut ditonton remaja kecil, duh Jahat sekali Hindu di pulau Bali kalau begini terus. Kehidupan pubs dan hiburan malam yang menjamur, gempuran erotis dari barat, transaksi gelap, duh keji sekali. Bali sedang mengalami penjajahan moral.
Mengapa segala apa-apa dihubungkan ke banten dan ritual sesaji. Tanpa tahu arti dari itu semua untuk siapa, mengapa, bisa saja hikmat roh gelap yang berada di belakangnya sedang ambil kuasa akan manusia itu?
Jikalaupun Tuhan, apakah Tuhan mau dielu disembah-sembah dengan hiperbolik seperti itu?, apakah Tuhan gila hormat dan dapat dibeli disogok dengan sajian dan sesaji seperti itu? Apakah Tuhan gila akan kemewahan?
Tuhan yang baik, yang dikenal oleh kemurnian Weda atau seluruh kitab yang lain, tidaklah seperti itu. Entah tuhan yang mana itu yang gila hormat, kemewahan wewantenan, sesari, tumpeng dan bokor.
Tuhan yang baik selalu mengajarkan kerendahan hati dan kesederhanaan. (Ini gue setuju banget nih sama qoute ini, super keren abie…zz)
Lagi pula Tuhan tak memerlukan itu semua haturan itu, wong Dia yang menciptakan semesta raya dengan segala isinya. Yang Dia ingini hanya dan hanyalah kedamaian, ketulusan dan kebersihan hati kita.
Theolog-theolog Hindu lokal jebolan IHDI dan UNUD mempunyai beban dan peran penting sebagai agen pembaharuan dan perubahan dalam hal ini. Setiap petinggi-petingi Bali dan stakeholdernya merupakan mata tombak yang utama.
We need change!!!
Mungkin di setiap kabupaten di Bali, beberapa minggu sekali, diadakan pengupasan, pembedahan dan pembelajaran Weda di balai kota, yang diwajibkan untuk para murid sekolah mengikutinya. Atau setiap akhir pekan di pura desa ada perkumpulan pembelajaran / pengupasan weda bagi remaja, agar sejak dini adik-adik kita dikenalkan kemurnian Weda yang benar. Diisi rohaninya dengan kesejatian ilmu kehidupan, mantap dan teguh pengetahuan sejati Hindunya, agar benar jalan hidupnya, baik masa depannya, damai hatinya. Lambat laun damai dan maju future Nusantara.
Padahal Tuhan sudah berfirman melalui Bhagavadgita Bab 18 ayat 66 : Serahkanlah semua kewajiban, datanglah kepadaKu semata untuk berlindung. Janganlah bersedih! Akan Kubebaskan dikau dari semua dosa-dosa.
Sloka ini dianggap sebagai sloka yang amat penting dalam Bhagavad Gita, dan merupakan suatu ungkapan dan ajaran yang dianggap amat rahasia sekaligus penuh dengan kasih-sayang Yang Maha Esa yang tak terbatas. Ajaran atau wejangan ini dianggap sebagai suatu kebijaksanaan yang amat dalam artinya dan menjadi patokan yang amat disegani dan dihormati oleh umat Hindu yang suci semenjak ribuan tahun yang silam dan di mana saja agama Hindu ini berkembang. “Serahkan semua kewajiban,” pada sloka ini berarti tanggalkan atau lepaskanlah dharma yang ditekankan atau terdapat di pustaka-pustaka suci kuno untuk sesuatu yang nilainya lebih luhur dan agung, yaitu dengan menjadikan Yang Maha Esa secara tunggal tempat kita berlindung, memohon dan mengabdi, dan memandangnya sebagai Yang mengayom dan Yang Menuntun kita sesuai dengan kehendakNya semata. Jangan membuang-buang waktu untuk mendiskusikan soal kasta yang sudah jelas maksudnya, yaitu pembagian kerja dan bukan perbedaan status atau diskriminasi. Jangan membuang-buang waktu yang berharga dengan melakukan tradisi dan upacara-upacara yang membingungkan dan membuang-buang energi, tetapi langsung saja menuju ke suatu perbuatan nyata yang hakiki dan sejati sifatnya, yang tanpa pamrih demi dan untuk Yang Maha Esa semata, dan bukan demi kepuasan mata, kepuasan jiwa atau indra-indra dan pikiran pribadi kita. Janganlah menerapkan kewajiban-kewajiban atau instruksi-instruksi dalam dharma-shastra kita secara ngawur dan salah, secara metafisik dan etika belaka, tetapi lakukanlah secara murni sesuai dengan sabda-sabda Tuhan, Tuhan dari semua dewa- dewa dan kekuatan-kekuatan di alam semesta ini. Semua kewajiban dan instruksi yang terdapat di dalam dharma- shastra ini akan hilang nilai dan artinya sekali seseorang sudah melakukan bhakti yang luhur dan tulus kepada Yang Maha Esa secara langsung.
Seorang jignasu (pencari kebenaran) harus menyerahkan secara total, jiwa dan raganya bagi Yang Maha Esa, dan Yang Maha Esa pasti akan membebaskannya dari segala dosa-dosa dan keterbatasannya, dari kekurang- pengetahuannya dan dari semua segi negatifnya. Ini adalah janji tulus Hyang Widi , Yang Maha Esa, kepada kita semua dan ini menunjukkan kasihNya Yang Agung dan Suci. Rahasia ke Tuhan Yang Maha Suci adalah bhakti yang tulus dan tanpa pamrih, tanpa benci, tanpa keinginan duniawi, tetapi hanya demi dan untuk Ia semata. Terjadilalah kehendakNya.
Seseorang yang dedikasinya kepada Yang Maha Esa masih dalam taraf yang belum matang, sewaktu bertindak sesuatu akan menganalisa dan mengkonfirmasikan setiap tindakan dan efeknya secara mental, fisik, moral, kewajiban, hukum, kaidah, kegunaan, bahkan dari segi spiritual juga akan diperhitungkan olehnya. Tetapi sekali ia berjalan dan berdedikasi secara tulus, tanpa pamrih dan dengan kesadaran yang matang, maka semua unsur, kaidah, dan nilai-nilai kewajibannya akan sirna, dan kemudian hanya timbul satu kesadaran Ilahi yang amat sukar diterangkan dengan kata-kata atau bahasa awam. Kesadaran ini bentuknya amat spiritual dan orientasinya hanya Yang Maha Esa semata. Di sini semua yang dikerjakan, diperbuat dan setiap aksi akan menjadi ibadah atau dedikasi yang amat tulus sifatnya dan setiap bentuk perbuatan pemuja ini akan sinkron dengan kehendak Nya, dan inilah misteri dari kehendak Nya, yang hanya bisa dimengerti secara spiritual dan duniawi oleh pemuja itu berkat karunia Nya juga. Suatu bentuk pengalaman atau kehidupan yang sukar dapat diterangkan dengan logika duniawi. Maka seyogyanyalah jangan menjadikan diri anda sebagai budak dari tradisi, kewajiban yang belum tentu positif nilainya, atau sesuatu tindakan yang nampaknya positif berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Ini bukan wejangan sesat atau ajaran yang salah, tetapi bhakti yang tulus kepada Yang Maha Esa memang akan menimbulkan semacam prema (kasih-Ilahi) yang tak terbatas agung dan suci yang penuh dengan pengetahuan- pengetahuan spiritual yang sukar dijangkau dengan logika duniawi, dan sukar diterangkan dengan kata-kata biasa, dan kebijaksanaan atau kesadaran Ilahi ini berada di atas semua kebaikan dan keburukan duniawi. Tanggalkanlah semua baju-baju duniawi anda, dan secara murni lepaslah dari nafsu-nafsu dan keinginan. Sambutlah Yang Maha Esa dengan bhakti yang tulus, berlindunglah di dalamNya dan selalulah berdoa “terjadilah kehendakNya.”
Inilah intisari ajaran Bhagavadgita yang agung dan suci ini. Aliran Ramanuja di India menyimpulkan sloka 66 ini sebagai intisari atau epicentrum dari ajaran Bhagavad Gita. Bekerja, bertindak dan berbuat suatu apapun; misalnya hal-hal yang dianggap terbaik dan suci, tetapi demi Yang Maha Esa semata dan tanpa harapan akan imbalan, maka perbuatan ini akan dilindungi oleh Yang Maha Esa dan sang pemujanya akan diselamatkan dari segala mara bahaya. Tetapi kalau sang pemuja sebaliknya berpikir bahwa semua tindakan tanpa pamrih ini malahan akan melepaskannya dari mara-bahaya dan akan dilindungi oleh Yang Maha Esa, maka pikiran semacam ini tidak murni lagi karena sudah terkena polusi dari pamrih itu sendiri. Ingat secercah harapan sekecil apapun merupakan tanda bahwa dedikasi itu sudah tidak murni lagi. “Terjadilah kehendakNya,” apapun itu! Baik yang terlihat negatif maupun positif, Yang Maha Esa yang tahu apakah hasil dan efek yang diberikannya kepada seseorang itu negatif atau positif. Seorang yang bersatu denganNya secara sejati akan mendapatkan juga pengetahuan ini, dan ia akan selalu bahagia dengan apapun yang diberikan oleh Yang Maha Esa kepadanya. Om Tat Sat.
Ayat ini merupakan ayat yang supreme, causa prima dan begitu di hormati oleh umat Hindu di segala penjuru bumi. Tuhan tak mengingini umat terjebak pada tata kasta yg dibuat manusia, ritus-ritus dan tata cara upacara yang sangat ribet sehingga umat lupa apa yang sesungguhnya harus mereka imani, yaitu Pribadi Tuhan, bukan malah menuhankan ritual, upacara, upakara, liturgi, tata cara, wara wara dan sakralitas.
Bhagavadgita Menyingkap arti hidup yang sesungguhnya di waktu-waktu terakhir dunia kita ini, di mana kita telah dikondisikan oleh prasangka kita terhadap materialisme, yang seakan-akan menjadi tujuan, untuk pemenuhan indera-indera yang gelap. Dan inilah jawaban untuk segala kehidupan. Mencapai kedamaian hakiki yang abadi dan tak berkesudahan
Bhagavadgita merupakan ‘penyelamat’ umat dari diversifikasi Sanata Dharma Hindu. Ia adalah benang merah dari 108 upanisad weda. Ia adalah titik kulminasi dari holistiksitas Weda. Dia satu tubuh Sruti dan Smerti. Dia bagai air embun yang menyejukan kehidupan setiap manusia yang membacanya habis, dan mau menyadarinya.
Sungguh berterima kasih kepada-Nya,memberikan air sejuk yg mendamaikan jiwa.
Menurut silabus kurikulum yang dipelajari di sekolah, umat Hindu memiliki 5 rukun hindu (5 sradha) panca sradha hindu yakni :
1 Percaya adanya Tuhan
2 Percaya pada atman
3 Percaya adanya hukum karma pala
4 Percaya adanya reinkarnasi
5 Percaya adanya moksa
Dikeseharian umat Hindu di Bali (tidak tahu umat Hindu di luar Bali, karena alat penunjang banten tidak ada), biasanya kegiatan beragama di mulai pagi hari dengan mebanten canang di sanggah, biasanya dilakukan oleh ibu, atau anak perempuan. Kemudian melakukan mebanten saat usai menanak nasi (ngejot) dan pada sore hari biasanya ada yg mebanten lagi seperti seperti pagi hari di sanggah maupun sekitaran rumah. Kegitan upacara dan mebanten akan lebih besar pada hari tertentu seperti purnama, tilem, galungan, nyepi dsb.
Mungkin umat Hindu di luar Bali mengucapkan doa Tri Sandya 3 kali dalam sehari, yaitu pada setiap pagi jam 6, siang hari jam 12, serta sore hari pada jam 6. Namun mungkin di Bali jarang yang melakukan itu rutin setiap hari sebagai doa wajib harian.
Setiap umat Agama Hindu, kerap menguncarkan AUM : Om , Ang Ung Mang (Tuhan) yang ada di setiap makhluk, oleh sebab itu kita mesti selalu mempraktikan Tat Wam Asi yang artinya mengasihi orang lain sebagaimana kita mengasihi diri sendiri. Sesungguhnya kita manusia ini terdiri dari 3 bentukan : Karana sarira (atman) Sukma sarira (jiwa : pikiran, perasaan dan kehendak) dan Stula sarira (tubuh/jasad jasmani). Hidup ini pada intinya adalah roh yg mendiami jasad. Jika mati, roh terlepas dari jasad, jasad membusuk dan roh abadi melanjutkan perjalanannya. Roh yang kita pakai ini sudah ada sejak dahulu kala. Sudah lama sekali perjalanan dan pertumbuhan kesadaran dan kecerdasan roh ini hingga mencapai tingkat manusia. Sudah 8.400.000 kali kelahiran dan kematian sudah kita lalui, dari makhluk ber sel satu hingga multi sel, organisme, baru sekarang kita bisa mencapai kehidupan yang memakai jasad manusia. Laksana berganti-ganti baju sahaja. Roh Manusia (sukma sarira), jika sudah mati, tak terhenti di surga atau neraka namun terus berlanjut perjalananya sesuai karma phalanya hingga mencapai Tuhan. Bibit Perbuatan apa yang ia semai, Buah perbuatan itulah yang ia Tuai. Baik dapat baik. Buruk dapat buruk. Mencari dunia dapat dunia. Surga dapat surga. Mencari Tuhan dapat Tuhan. Apa yang selama hidup ini terus menerus suka dilekati digandrungi, kemungkinan besar saat mati kesanalah akan menuju.
Kita bermain-main di bumi ini hanya lah seimprit bagian dari Maha Semesta raya yang menurut Srimad Bhagavatam terdiri dari 14 tingkatan. Galaksi Bumi berada tingkatan tengah. Tingkatan atas adalah surga-suargan, untuk para dewa dan roh suci, tingkatan bawah adalah bagi roh-roh rendah dan neraka. Tuhan menciptakan Dewa dan Dewi . Ada 33 juta dewa dengan seluruh tugasnya masing-masing. 3 dewa utama yaitu Brahma (dewa pencipta) Vishnu (pemelihara) Siwa (pralina/pemusnah). Brahma itu Dewa. Brahman itu Tuhan (pencipta seluruh dewa dan makhluk), ada penambahan infiks ‘n’. Ini hanya istilah-istilah saja, jangan dibuat bingung.
Jarak antara satu tingkat lapisan langit ketingkat lapisan di atasnya bisa sampai miliaran tahun cahaya. (1 tahun cahaya lebih kurang 9,46 triliun km). Jarak Bumi ke Matahari saja cuma 149 juta km. Di setiap tingkat memiliki galaksi-galaksi dan di setiap galaksi ada planet-planet. Setiap galaksi memiliki satu matahari atau mungkin lebih,atau mungkin tak memiliki mataharinya sendiri. Hal itu tak begitu penting,sebab terserah PenciptaNyalah, wong Dia Yang Menciptakan. Ada banyak surga. Dari Surga yang paling mewah gemilang gemerlap bercahaya sampai surga yang suram dan sempit. Neraka ada 28 galaksi dan di setiap galaksi ada planet. Dan setiap planet Neraka memiliki fungsinya sendiri-sendiri, tergantung kesalahan manusia waktu di bumi. Jika waktu di bumi, mencuri masuk ke planet neraka pencuri dengan siksaan api panas. Jika berhubungan sebelum nikah dan menggugurkan anak masuk ke kawah tembaga mendidih dan masih banyak lagi, tergantung kesalahan dan perbuatannya.
Kalau dipikir-pikir, hampir semua kita masuk neraka, perbandingan dari 1000 mungkin hanya 1 yang ke surga,(kalau penduduk bumi sekarang 6 miliar,kemudian kiamat, hanya 6 juta yang masuk surga sisa yang 5,94 miliarnya kemana?) sebab manusia banyak sekali melakukan segala dosa dan kebohongan.
Untuk itu, Banyak-banyaklah bertobat, memelihara kesucian, kesopanan pikiran, perasaan, perkataan dan perbuatan, lemah lembut, kasih, banyak-banyaklah berbuat baik tak henti-henti, pikiran, perkataan dan perbuatan baik di BUMI ini, sebab jika kita sudah mati, habis sudah kesempatan kita tuk berbuat baik. Tinggallah roh sukma sarira kita yang akan dihakimi menurut perbuatan kita.
Kita mesti sadar, pergi ke surga tidaklah bergandeng-gandengan seperti kereta gerbong hendak berlibur sahaja. Orang tua tak bisa menolong anaknya, Istri tak bisa menolong suaminya. Kakak tak bisa menolong adiknya, Pria tak bisa menolong pacar kekasih hatinya. Kita pergi ke sana sendiri-sendiri. Hanya diri kita sendiri yang bisa menolong kita (melalui segala perbuatan kita semasih hidup di bumi ini). Hanya Tuhan satu-satunya “Harta” kita.
Sebab surga itu mahal harganya. Barang bagus,istimewa dan berkualitas saja selalu mahal harganya. Apalagi Surga?, Hanya bisa dibeli dengan kasih tulus kita kepadaNya. Jika ada istri pejabat yang memiliki perhiasan permata berlian di bumi ini seharga 21 miliar, kehidupan di surga takkan lah bisa dibeli dengan apapun dan siapapun,sebab jalanan-jalanan disana saja terbuat dari batu ruby dan kristal-kristal kecubung yang indah bercahaya. Janganlah kita hanya sampai disurga, dan itu pun disurga tingkat yang paling rendah,dimana surganya kelam muram dan tak bercahaya, surga yang orang masuk kedalamnya dengan perasaan malu-malu. Sebab malu banyak salahnya ketika dibumi dan tahu diri merasa tak pantas masuk surga.
Mungkin Dimensi waktu berubah, semakin tinggi lapisan langit,semakin lama guliran waktunya.1 harinya Tuhan/Brahman (pagi-malam) sama dengan ketika seluruhnya ( 14 tingkat langit) ini tercipta dan seluruhnya kembali musnah (Maha Pralaya). Dalam satuan kalpa. Mungkin itu alasan ada orang yg merasa di bawa ke alam lain baru 1 hari, tapi setelah kembali ke alam bumi, orang-orang berkata ia sudah hilang 1 tahun.
Sulit untuk berpikir manusia fisik bisa menjelajah ke tingkat lain dari langit, mengingat untuk ke planet Mars aja manusia teramat susah payah sekali. padahal jarak langit setingkat diatas bisa miliaran kali jarak bumi-mars.
Terkecuali manusia mencapai kesadaran roh yang tinggi, Berupa Lolos sukma/ngeraga sukma,dimana manusia mampu memisahkankan rohnya dari badannya, dan mengunjungi suatu planit. Itu pun tak mungkin bisa jauh,sebab sudah pasti ada sekat-sekat pembatasnya.
Tujuan Roh ini adala kembali kepada Penciptanya, tidak lagi berdiam di lapisan-lapisan langit/alam, tidak lagi lahir pada hari penciptaan dan tidaklah binasa pada hari penghancuran, dengan istilah Moksah/Mukso/Moksa.
Bumi merupakan tempat yang ideal untuk mencapainya.
Sebab jika berada di level atas, kehidupan begitu indah dan nikmat,sehingga sering terbuai akan kenyaman indera dan tidak menghayati hikmat, hikmah dan hidayahNya. Jika berada di level bawah maka kehidupan terlalu sengsara sakit dan memilukan, sehingga sulit untuk berhikmat syafaat. Para Dewa sering menginginkan untuk lahir di bumi, sebab di Brahma Vrsta, Bumi, inilah kesempatan terbuka lebar untuk menyucikan indra diri, mengendalikan keinginan indrawi dan keinginan duniawi, dimana kehidupan tidak terlalu nikmat, juga tidak terlalu nelangsa sengsara, ideal untuk bisa mencapai moksa, nibbana (terhenti dari lahir dan mati di semua tingkatan alam), manunggaling kawulo lan gusti, bersatu dengan Tuhan.
Itu merupakan anugrah Nya yang tiada tara. Sembah sujud bakti tulus tanpa pamrih pada Kaki Padma Nya Yang Suci.
Tanpa keinginan duniawi, bangga diri, pangkat, jabatan, prestise, nilai diri dimata orang, gelar, mobil, rumah, harta benda, perhiasan, kemewahan dan segala rupa-rupa kenikmatan dunia. Janganlah memberhalakan semua itu. Apalagi korupsi dan suap menyuap untuk mendapatkannya, bau neraka sudah hangat tercium hidung.
Bukannya kita tidak boleh memiliki itu semua, tapi untuk apakah itu semua? Untuk ego kita? Memuaskan keinginan kita? Agar kita bisa dihormati di mata manusia lain? Agar kita bisa membanggakan diri? Agar kita bisa di puji-puji orang? Agar orang segan sama kita? . Jika ya,kita harus sering-sering cuci gudang motivasi kita,.. Bukan untuk dunia, tapi Untuk Tuhan. Siapa kita, manusia kok sok-sok’an berbangga diri? merasa berhak untuk punya ini itu,merasa pantas dan punya kepentingan untuk melakukan ini itu? Siapa kita? bukankah Dia yang paling berjasa memberikan nafas hidup dan roh kepada kita manusia. Dia Tuhanlah yang Paling Punya Kepentingan. Tuhan lah satu-satunya ‘harta’ kita. Sulit memang, sedikit mustahil untuk memindahkan hati dari kehendak diri dan dunia ke kehendak Nya,tapi apa yang mustahil bagi manusia,tiada mustahil bagi Nya. Jadilah Kehendak Nya. Lagi pula,apa arti dari semua rupa kesenangan dan harta duniawi itu,itu semua hanya kenikmatan sementara. Sia-sia hidup yang 70-90 tahun (atau mungkin kurang) di bumi hanya untuk mencari itu saja. Sebab sudah pasti motivasi kita akan di cuci di waduk dan kawah neraka.
Gempa, kebakaran dan banjir bencana dimana-mana, waktu semakin sempit dan cupit. Kita dapat “dipanggil” kapan saja. Gunakanlah sisa hidup kita yang sempit ini untuk belajar, sadar dan bertindak benar. Tugas kita di Bumi ini adalah untuk mengembalikan kemurnian motivasi roh ini ke tempat semulanya, ke Penciptanya.
World is not our home. Bumi bukanlah rumah abadi kita, ada Çanti yang kekal menanti kita. Berbenah diri lah untuk menyongsongnya. Seberangkanlah dan pindahkanlah hati dan kehendak diri ke damai kekekalan.
Semua memang sudah diatur Tuhan,segala keteraturan kosmik ini sudahlah dalam rancangannya. Begitu juga dengan hidup kita. Namun jika kita mencuri, berbohong, apa juga itu sudah diaturNya?
Tuhan memanglah misteri yang agung nan suci. Jika ada sebuah cermin besar yang pecah, seluruh pengetahuan, agama, aliran dan ajaran di bumi ini, hanyalah merupakan serpihan pecahan kaca yang paling kecil dibandingkan dengan banyak serpih pecahan-pecahan kaca yang lain, serpihan super kecil dari maha misteri yang super maha luas, apalah artinya agama. Kasihilah semua makhluk, kasihilah sesama mu manusia, ikut lah kebaikan nurani dan bekerja keraslah dalam tanggung jawab kejujuran di setiap apa-apa tugas sementara kita di dunia ini, dalam Sang Tunggal Esa.
Kembali pada pembahasan di awal. Sebagai generasi Hindu milenial, Kita harus bersatu padu, bahu-membahu, dan saling dukung. Janganlah kita saling memusuhi dan tinggi hati karena soroh dan kasta. Kita harus mengesampingkan ego kita. Jika tidak, kita akan hancur, sebab kita sedang di serang dari berbagai sisi wahai semeton dewata. Kita mesti saling mendukung dari segi ekonomi, bisnis, usaha, sosial, maupun populasi dan jumlah. Sebab mereka sedang menghancurkan kita dari aspek-aspek tersebut.
Coba minta data statistik, berapa yang pindah ke agama lain, ratusan ribu jiwa. Sedangkan yang masuk ke Hindu hanya ratusan, itupun mereka dipersulit dan ditakut-takuti perihal kasta dadya dan sebagainya.
Kita sedang diadu domba sesama kita sendiri, agar kita semakin mudah di taklukkan.
Kembali pada pembahasan di awal. Sebagai generasi Hindu milenial, Kita harus bersatu padu, bahu-membahu, dan saling dukung. Janganlah kita saling memusuhi dan tinggi hati karena soroh dan kasta. Kita harus mengesampingkan ego kita. Jika tidak, kita akan hancur, sebab kita sedang di serang dari berbagai sisi wahai semeton dewata. Kita mesti saling mendukung dari segi ekonomi, bisnis, usaha, sosial, maupun populasi dan jumlah. Sebab mereka sedang menghancurkan kita dari aspek-aspek tersebut.
Coba minta data statistik, berapa yang pindah ke agama lain, ratusan ribu jiwa. Sedangkan yang masuk ke Hindu hanya ratusan, itupun mereka dipersulit dan ditakut-takuti perihal kasta dadya dan sebagainya.
Kita sedang diadu domba sesama kita sendiri, agar kita semakin mudah di taklukkan.
Ketakutan ini adalah hal yang nyata. Kita akan menjadi seperti Betawi jilid 2 atau Majapahit jilid 2. Kita pasti akan kalah, jika kita tidak sadar juga sedari awal.
Kita akan semakin terhimpit, jika kita tidak menyusun strategi utamanya dari awal untuk mengahadapi situasi yang berkembang saat ini, kita akan semakin diinjak-injak, terpinggirkan, dan kita menjadi orang-orang babu di tanah kelahiran kita, tanah leluhur kita, tanah taksu kita sendiri. Kita hanya akan menjadi kacung dan kenek bagi mereka. Orang-orang kita hanya menjadi pelayan dan karyawan rendahan bagi mereka. Kita semakin kehilangan darah kita.
Situasi sudah berkembang semakin sangat cepat dan pesat, jika kita tidak mengikuti perkembangan dan beradaptasi dengan perubahan sudah pasti kita akan kalah. Kalah jumlah dan kalah pola pikir.
Terlebih-lebih jika kita terlalu gugun tuun dengan tata titi toto awig aweg yang menghambat, ketinggalan zaman dan sudah tidak relevan lagi dengan situasi sosial yang sedang terjadi saat ini, di tanah hening bunga seribu pura yang sedang berubah begitu cepatnya menjadi tanah seribu corong Toa ini.
Sekali lagi kami tekankan dan garis bawahi, semoga segera dapat terwujud. Setiap kabupaten di Bali, setiap seminggu sekali, diadakan pengupasan, pembedahan dan pembelajaran Weda di balai kota, yang diwajibkan untuk para murid sekolah mengikutinya. Atau sejak dini diadakan PAUD Hindu. Atau setiap akhir pekan di pura desa ada perkumpulan pembelajaran / pengupasan weda bagi remaja, agar sejak dini adik-adik kita dikenalkan kemurnian Weda yang benar. Diisi rohaninya dengan kesejatian ilmu kehidupan, mantap dan teguh pengetahuan sejati Hindunya, agar benar jalan hidupnya, baik masa depannya, damai hatinya. Lambat laun damai dan maju Hindu Nusantara.
Hindu Nusantara
Swaha...
Swaha...
Komentar
Posting Komentar